Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Bidaah Mengupas Fenomena Sekte Sesat

Viralnya tokoh Walid dalam Film "Bidaah" hadir sebagai sebuah representasi fiksi yang mencoba menyoroti bahaya dan dampak dari ajaran sesat atau bidaah dalam kehidupan bermasyarakat. Melalui narasi yang kuat dan karakter-karakter yang kompleks, film ini mengajak penonton untuk merenungkan bagaimana sebuah ideologi yang menyimpang dapat merusak tatanan sosial, keluarga, dan bahkan keimanan individu. 

Namun, fenomena sekte sesat bukanlah sekadar kisah dalam film update viral terkini tersebut. Di dunia nyata, berbagai kelompok dengan interpretasi agama atau kepercayaan yang menyimpang terus bermunculan dan bahkan menarik pengikut. Lantas, mengapa di tengah kemajuan informasi dan ilmu pengetahuan, sekte-sekte sesat ini masih mampu berkembang di masyarakat?

sekte sesat bidaah walid


Fenomena keberadaan sekte-sekte yang dianggap menyimpang atau sesat dalam Islam memang bukan hal baru, tapi tetap saja terasa dekat dan terus relevan dibahas, terutama di tengah derasnya arus informasi digital saat ini. Kita hidup di zaman di mana siapa saja bisa menyampaikan pandangan keagamaan lewat media sosial, YouTube, atau forum-forum daring tanpa proses verifikasi keilmuan yang ketat. Dalam kondisi ini, wajar kalau muncul kebingungan di kalangan umat, terutama mereka yang baru belajar agama atau mencari jawaban cepat tentang kebenaran.

Masih banyak orang yang bertanya-tanya, “Kok bisa sih, di era yang serba canggih gini, masih ada kelompok yang ngajarin ajaran-ajaran aneh dan ngaku paling benar?” Bahkan, nggak sedikit juga yang ujung-ujungnya menyalahkan umat awam karena dianggap gampang dibohongi. Padahal, realitanya lebih kompleks. Banyak faktor yang memengaruhi kemunculan dan bertahannya sekte-sekte ini, mulai dari kondisi sosial, psikologis, sampai celah-celah dalam sistem pendidikan agama yang belum merata.

Artikel ini akan ngajak kamu buat ngelihat persoalan ini dari sisi yang jarang disorot: bukan cuma soal “kenapa mereka sesat?”, tapi “kenapa mereka bisa muncul dan terus ada?” Karena kalau kita cuma fokus pada label, kita bakal kehilangan peluang buat memahami akar masalahnya. Dan justru dari pemahaman itu, solusi yang lebih bijak bisa ditemukan.


1. Minimnya Pemahaman Agama yang Mendalam di Kalangan Umat

Banyak orang muslim yang sebenarnya ingin mendalami agama, tapi sayangnya nggak semua punya akses ke pendidikan keislaman yang komprehensif dan bisa dipertanggungjawabkan. Masih banyak umat yang belajar agama sebatas dari potongan ceramah TikTok, status Facebook, atau grup WhatsApp keluarga. Hal ini jadi ladang subur buat kelompok yang menawarkan “kebenaran instan” dengan gaya retorika yang meyakinkan tapi dangkal dari sisi keilmuan.

Mereka biasanya bermain di wilayah emosi dan logika sederhana: “Kami satu-satunya yang benar, yang lain semua salah.” Dan buat sebagian orang yang lagi mencari pegangan hidup atau sedang bingung, klaim semacam ini justru terasa menenangkan. Apalagi kalau dikemas dengan gaya yang karismatik dan mengundang simpati.


2. Krisis Identitas dan Pencarian Spiritualitas yang Cepat

Di tengah kehidupan modern yang makin serba cepat dan kompetitif, banyak orang merasa kehilangan arah. Stress kerja, tekanan ekonomi, bahkan kegagalan relasi bisa membuat seseorang rentan terhadap ajakan kelompok yang menjanjikan "hidup yang lebih damai dan terarah." Sekte-sekte ini biasanya menawarkan komunitas yang hangat, support sistem yang solid, dan panduan hidup yang kelihatan jelas.

Kondisi krisis identitas ini dimanfaatkan dengan membungkus ajaran mereka sebagai "kembali ke Islam yang murni", padahal tafsir yang digunakan seringkali menyimpang dari konsensus ulama atau bertentangan dengan prinsip Islam rahmatan lil alamin. Tapi karena pendekatannya menyentuh kebutuhan psikologis, orang jadi enggan mempertanyakan dasar-dasarnya secara kritis.


3. Peran Karismatik Pemimpin yang Menghipnotis

Salah satu ciri khas sekte menyimpang adalah adanya sosok pemimpin yang dianggap “lebih tinggi” dari manusia biasa. Kadang mereka dikultuskan sebagai imam akhir zaman, penerima wahyu, atau bahkan titisan nabi. Dengan kefasihan bicara, penguasaan bahasa Arab seadanya, dan pembawaan yang tenang tapi tegas, banyak pengikut jadi taklid tanpa bertanya.

Fenomena ini mirip seperti pola sektarian dalam agama lain—karismatik leader menjadi magnet yang kuat. Begitu sudah terjebak dalam lingkaran pengikut, mereka biasanya sulit keluar karena takut, malu, atau bahkan merasa akan “celaka” kalau meninggalkan kelompok.


4. Celakanya: Kekosongan Pengawasan dan Lemahnya Literasi Keagamaan

Di beberapa daerah, terutama yang jauh dari pusat-pusat pendidikan Islam formal, dakwah dilakukan tanpa pengawasan. Siapa pun bisa jadi ustaz dadakan asalkan punya suara lantang dan sedikit ayat hafalan. Akibatnya, ajaran menyimpang bisa menyebar pelan-pelan tanpa ada yang meluruskan. Lebih parah lagi kalau tokoh masyarakat atau tokoh adat juga ikut terseret, karena akan menambah legitimasi palsu buat kelompok itu.

Di sisi lain, lembaga-lembaga resmi seperti MUI, Kemenag, atau ormas Islam memang sudah banyak mengeluarkan fatwa atau penjelasan tentang kelompok sesat. Tapi sayangnya, penyebaran informasinya kalah cepat dibanding dakwah digital para kelompok menyimpang ini. Mereka mainnya algoritma dan emosi—dua senjata paling tajam di zaman internet.


5. Kepentingan Politik dan Ekonomi yang Nggak Bisa Diabaikan

Sekte atau mahzab menyimpang juga bisa punya tujuan di luar agama. Ada yang memang dibentuk untuk menciptakan perpecahan, mengganggu kestabilan sosial, atau sekadar bisnis berkedok ibadah. Misalnya, pemimpin sekte punya usaha pribadi dan semua pengikut diwajibkan beli produk dari dia. Atau, lebih ekstrem lagi, sekte jadi alat politik tertentu buat menekan kelompok lain.

Motif tersembunyi ini jarang terendus di awal, karena dibungkus dengan narasi-narasi agama yang seolah-olah murni. Tapi makin dalam ditelusuri, makin kelihatan sisi manipulatifnya. Sayangnya, banyak pengikut sudah terlalu jauh masuk sebelum sadar sedang dimanfaatkan.


6. Kurangnya Ruang Diskusi Terbuka dalam Beragama

Di banyak komunitas muslim, pertanyaan kritis tentang agama sering dianggap tabu atau malah dicap “kurang iman.” Ini justru bahaya, karena umat jadi nggak terbiasa berpikir secara kritis dan logis dalam memahami ajaran agama. Akhirnya, ketika ketemu kelompok yang mengaku punya “jawaban semua pertanyaan,” mereka langsung percaya tanpa verifikasi.

Padahal, dalam tradisi Islam sendiri, debat ilmiah dan diskusi terbuka adalah hal biasa. Para ulama dulu berbeda pendapat dengan penuh adab dan argumentasi. Sayangnya, budaya itu mulai terkikis. Dan di situlah sekte menyimpang masuk, membawa kesan bahwa mereka lebih terbuka—padahal sebenarnya mematikan ruang diskusi setelah pengikut “masuk lingkaran.”


Penutup: Kenali dan Perkuat Pondasi, Bukan Sekadar Menghakimi

Keberadaan sekte dan mahzab menyimpang dalam Islam akan terus ada selama ada ruang kosong dalam pemahaman agama umat. Maka, solusi terbaik bukan sekadar menghakimi dan membubarkan, tapi memperkuat pendidikan agama yang sehat, kritis, dan rahmatan lil alamin. Kita butuh lebih banyak ustaz yang membumi, platform dakwah yang relevan, dan ruang diskusi yang aman buat umat bertanya dan belajar.

Kalau kamu merasa bingung dengan banyaknya aliran atau mahzab di luar sana, jangan langsung panik. Mulailah dari mencari ilmu dari sumber terpercaya, bertanya kepada ustaz atau guru agama yang punya sanad keilmuan jelas, dan jangan ragu berdiskusi. Yuk, jadi bagian dari generasi muslim yang kritis dan bijak dalam beragama. Karena menjaga kemurnian Islam bukan cuma tugas ulama, tapi tanggung jawab kita semua.

Posting Komentar untuk "Bidaah Mengupas Fenomena Sekte Sesat "