Indonesia: Lands of The Local Wisdom
Setelah bergembira ria karena ga ketembak sodoran PR estafetnya ihwan akhirnya tembakannya nyampe juga ke aku, dapet PR pantulan dari rana lewat postingannya. Ya wis lumayan itung2 buat nambah jumlah postingan deh.
Ada hal menarik di Indonesia yang menurutku ces pleng banget dengan kehidupan masyarakat lokalnya, yaitu tentang kearifan lokal, memang jika dibandingkan dengan negara2 yang konon memiliki sejarah masa lalu yang sangat mentereng nyaris nama Indonesia jarang tersebut, jika kita menyebut sejarah2 peradaban besar kita hanya akan menghitung Mesir, Yunani, Romawi, Mesopotamia, China dan India, kemudian dilanjut Islam, Renaissance Eropa sampai peradaban modern sementara untuk nusantara lebih banyak memble.
Kenapa? karena budaya masyarakat kita lebih cenderung pada kebudayaan lisan bukan dalam bentuk tulisan, konon peradaban nusantara sudah sangat maju di masa lalu, orang2 China sebelum zaman Cheng Ho menggunakan jasa pelaut nusantara untuk membawa dagangannya ke negeri India, dan persi belum ekspor kapur barus dari sumatera yang khusus dipesan buat keperluan ngurus mumi2 Mesir dan ketenaran Sumatera sebagai pengekspor Emas ke timur tengah. Dan beberapa kemiripan budaya masyarakat Madagaskar dengan masyarakat Indonesia.
Mungkin keterbiasaan kita menggunakan budaya lisan itu juga maka kiprah aksara lokal seperti hanacaraka dan huruf Bali gagal naik daun, meskipun sempat unggul dengan aksara pallawa seiring perkembangan Kerajaan Sriwijawa dan Kerajaan2 tanah jawa, sampai kini cenderung tenggelam digerus huruf latin dan kosakata bule. Berbeda dengan Hangul, Kanji dan Huruf mandarin yan justru makin go internasional.
Mungkin untuk urusan tulis menulis leluhur kita ga terlalu memusingkan tapi kemampuan mereka menaklukan lautan dan membangun peradaban masa lalu jelas tak terbantahkan. Sisa2 kebudayaan dalam bentuk Candi misalnya, menurut aku jelas lebih mentereng klo dibandingkan dengan piramida di mesir, bongkahan2 batu tidak hanya ditumpuk tapi juga diukir dan disusun sehingga membentuk sebuah bangunan yang kokoh dan indah.
Kemampuan mereka bukan hanya sebatas bangun membangun bangunan namun juga eksotisme yang merupakan penerjemahan dari visi mereka, namun kemampuan arsitek yang tanpa diimbangi dokumentasi yang baik mungkin menjadikan generasi kita sekarang bertanya2 kok dulu simbah2 kita bisa yah? Benarkah simbah2 kita memiliki kemampuan magis yang jauh lebih kolosal dari Merlin di Inggris?
Kembali ke budaya lisan, rata2 budaya lisan di tanah jawa khususnya berubah menjadi sebuah aturan tidak tertulis yang sama2 dijunjung sebagai sebuah norma dalam masyarakat. Misalnya anak2 kecil ngga boleh bermain menjelang magrib, klo ga bisa diembat wewe gombel, ga boleh makan di depan pintu, ga boleh menduduki bantal ntar pantatnya wudunen dsb.
Bentuk nasihat dan larangan yang mungkin emang ga masuk akal? masak iya ada anak diculik wewe gombel? meskipun nyatanya sampai awal 90 an pun masih sering terjadi. Dan emang klo kelamaan mantatin bantal bisa bikin pantat benjol. Tapi menurutku hal itu adalah bagian dari kecerdasan psikologis yang ditularkan kepada anak, ga boleh makan di depan pintu, yang kurang lebih berarti pintu adalah jalan orang untuk keluar masuk, jika kita duduk didepan pintu artinya kita menghalangi aktifitas orang lain, ga boleh menduduki bantal dengan pantat karena bantal diperuntukkan untuk kepala, dan kepala posisinya lebih tinggi daripada pantat. Ga boleh bermain diwaktu magrib karena malam adalah saat untuk istirahat bukan beraktifitas.
Bentuk2 kecerdasan verbal ini sebenarnya ditujukan untuk membuat anak belajar bagaimana menjadi manusia yang mampu menempatkan dirinya dan orang lain, bukan sebagai visualisasi terhadap budaya mistis, tapi agar anak bisa menemukan makna dibalik kearifan lokal tersebut. Setali tiga uang dengan produk budaya dalam bentuk mainan dan permainan anak tradisional yang kental unsur kearifan lokalnya. Ga bersifat individualis macam bentuk mainan dan permainan abegeh sekarang.
Sebagai contoh yang gress adalah perayaan tahun baru jawa/hijriyah, di kalangan keraton setiap perayaan Islam dilakukan pesta rakyat grebeg, baik grebeg sura, syawal, besar dan maulid, perayaan ini adalah ungkapan suka cita keraton dan masyarakat terhadap perayaan hari besar Islam, dan juga sebagai sarana mempererat hubungan antara keraton dengan rakyatnya.
Salahkah budaya ini? menurut saya enggak, karena dasarnya budaya itu hanya manifestasi hubungan baik antara manusia dengan manusia, wujud syukur dari manusia kepada Sang Pencipta. Memang ada yang menilai beberapa budaya adalah bentuk kesyirikan, tapi monggo saja kembali kepada masing2 pihak, menilainya seperti apa, ada yang pro dan yang kontra itu biasa. Saya lebih tertarik pada makna psikologis yang tersirat pada perayaan itu.
Masyarakat jawa, khususnya jogja dan solo selalu menanti saat berebut gunungan yang berisi hasil bumi dari kraton, mereka menganggap ada berkah jika mereka mampu membawa pulang hasil bumi dari gunungan tersebut. Kepercayaan ini dibawa turun temurun sampai sekarang, bahkan beberapa tempat yang ga ada kratonnya pun menggelar budaya serupa.
Menurut saya bukan karena gunungannya itu yang membawa berkah, melainkan usaha yang dilakukan masyarakat untuk mendapatkan gunungan itulah yang membawa berkah. Ketika seseorang berusaha mendapatkan gunungan, dia akan rela bersabar menanti gunungan keluar dan berjuang habis2an untuk mendapatkan sedikit dari gunungan tersebut.
Gunungan itu hanyalah simbolisasi cita2 yang ingin digapai, dan untuk mencapainya kita perlu bersabar dan berusaha, untuk mencapai kesuksesan kita harus bersabar, menghemat pengeluaran dan bekerja keras mencapainya, prosesi budaya hanya sebuah gambaran dari masyarakat lokal disekitarnya, petani2 akan menjaga sawah ladangnya agar menghasilkan, peternak berusaha merawat hewan2nya sebaik mungkin, dan begitulah sebuah budaya terbentuk, sebuah visi yang cerdas untuk membuat kita belajar lebih banyak tentang kearifan leluhur kita.
Dah gitu aja deh, buat temen2 yang pengen nulis estafet tentang Indonesia dipersilahken, ga usah pake bata yah? mending dikasih ya gak gan??
Ada hal menarik di Indonesia yang menurutku ces pleng banget dengan kehidupan masyarakat lokalnya, yaitu tentang kearifan lokal, memang jika dibandingkan dengan negara2 yang konon memiliki sejarah masa lalu yang sangat mentereng nyaris nama Indonesia jarang tersebut, jika kita menyebut sejarah2 peradaban besar kita hanya akan menghitung Mesir, Yunani, Romawi, Mesopotamia, China dan India, kemudian dilanjut Islam, Renaissance Eropa sampai peradaban modern sementara untuk nusantara lebih banyak memble.
Kenapa? karena budaya masyarakat kita lebih cenderung pada kebudayaan lisan bukan dalam bentuk tulisan, konon peradaban nusantara sudah sangat maju di masa lalu, orang2 China sebelum zaman Cheng Ho menggunakan jasa pelaut nusantara untuk membawa dagangannya ke negeri India, dan persi belum ekspor kapur barus dari sumatera yang khusus dipesan buat keperluan ngurus mumi2 Mesir dan ketenaran Sumatera sebagai pengekspor Emas ke timur tengah. Dan beberapa kemiripan budaya masyarakat Madagaskar dengan masyarakat Indonesia.
Mungkin keterbiasaan kita menggunakan budaya lisan itu juga maka kiprah aksara lokal seperti hanacaraka dan huruf Bali gagal naik daun, meskipun sempat unggul dengan aksara pallawa seiring perkembangan Kerajaan Sriwijawa dan Kerajaan2 tanah jawa, sampai kini cenderung tenggelam digerus huruf latin dan kosakata bule. Berbeda dengan Hangul, Kanji dan Huruf mandarin yan justru makin go internasional.
Mungkin untuk urusan tulis menulis leluhur kita ga terlalu memusingkan tapi kemampuan mereka menaklukan lautan dan membangun peradaban masa lalu jelas tak terbantahkan. Sisa2 kebudayaan dalam bentuk Candi misalnya, menurut aku jelas lebih mentereng klo dibandingkan dengan piramida di mesir, bongkahan2 batu tidak hanya ditumpuk tapi juga diukir dan disusun sehingga membentuk sebuah bangunan yang kokoh dan indah.
Kemampuan mereka bukan hanya sebatas bangun membangun bangunan namun juga eksotisme yang merupakan penerjemahan dari visi mereka, namun kemampuan arsitek yang tanpa diimbangi dokumentasi yang baik mungkin menjadikan generasi kita sekarang bertanya2 kok dulu simbah2 kita bisa yah? Benarkah simbah2 kita memiliki kemampuan magis yang jauh lebih kolosal dari Merlin di Inggris?
Kembali ke budaya lisan, rata2 budaya lisan di tanah jawa khususnya berubah menjadi sebuah aturan tidak tertulis yang sama2 dijunjung sebagai sebuah norma dalam masyarakat. Misalnya anak2 kecil ngga boleh bermain menjelang magrib, klo ga bisa diembat wewe gombel, ga boleh makan di depan pintu, ga boleh menduduki bantal ntar pantatnya wudunen dsb.
Bentuk nasihat dan larangan yang mungkin emang ga masuk akal? masak iya ada anak diculik wewe gombel? meskipun nyatanya sampai awal 90 an pun masih sering terjadi. Dan emang klo kelamaan mantatin bantal bisa bikin pantat benjol. Tapi menurutku hal itu adalah bagian dari kecerdasan psikologis yang ditularkan kepada anak, ga boleh makan di depan pintu, yang kurang lebih berarti pintu adalah jalan orang untuk keluar masuk, jika kita duduk didepan pintu artinya kita menghalangi aktifitas orang lain, ga boleh menduduki bantal dengan pantat karena bantal diperuntukkan untuk kepala, dan kepala posisinya lebih tinggi daripada pantat. Ga boleh bermain diwaktu magrib karena malam adalah saat untuk istirahat bukan beraktifitas.
Bentuk2 kecerdasan verbal ini sebenarnya ditujukan untuk membuat anak belajar bagaimana menjadi manusia yang mampu menempatkan dirinya dan orang lain, bukan sebagai visualisasi terhadap budaya mistis, tapi agar anak bisa menemukan makna dibalik kearifan lokal tersebut. Setali tiga uang dengan produk budaya dalam bentuk mainan dan permainan anak tradisional yang kental unsur kearifan lokalnya. Ga bersifat individualis macam bentuk mainan dan permainan abegeh sekarang.
Sebagai contoh yang gress adalah perayaan tahun baru jawa/hijriyah, di kalangan keraton setiap perayaan Islam dilakukan pesta rakyat grebeg, baik grebeg sura, syawal, besar dan maulid, perayaan ini adalah ungkapan suka cita keraton dan masyarakat terhadap perayaan hari besar Islam, dan juga sebagai sarana mempererat hubungan antara keraton dengan rakyatnya.
Salahkah budaya ini? menurut saya enggak, karena dasarnya budaya itu hanya manifestasi hubungan baik antara manusia dengan manusia, wujud syukur dari manusia kepada Sang Pencipta. Memang ada yang menilai beberapa budaya adalah bentuk kesyirikan, tapi monggo saja kembali kepada masing2 pihak, menilainya seperti apa, ada yang pro dan yang kontra itu biasa. Saya lebih tertarik pada makna psikologis yang tersirat pada perayaan itu.
Masyarakat jawa, khususnya jogja dan solo selalu menanti saat berebut gunungan yang berisi hasil bumi dari kraton, mereka menganggap ada berkah jika mereka mampu membawa pulang hasil bumi dari gunungan tersebut. Kepercayaan ini dibawa turun temurun sampai sekarang, bahkan beberapa tempat yang ga ada kratonnya pun menggelar budaya serupa.
Menurut saya bukan karena gunungannya itu yang membawa berkah, melainkan usaha yang dilakukan masyarakat untuk mendapatkan gunungan itulah yang membawa berkah. Ketika seseorang berusaha mendapatkan gunungan, dia akan rela bersabar menanti gunungan keluar dan berjuang habis2an untuk mendapatkan sedikit dari gunungan tersebut.
Gunungan itu hanyalah simbolisasi cita2 yang ingin digapai, dan untuk mencapainya kita perlu bersabar dan berusaha, untuk mencapai kesuksesan kita harus bersabar, menghemat pengeluaran dan bekerja keras mencapainya, prosesi budaya hanya sebuah gambaran dari masyarakat lokal disekitarnya, petani2 akan menjaga sawah ladangnya agar menghasilkan, peternak berusaha merawat hewan2nya sebaik mungkin, dan begitulah sebuah budaya terbentuk, sebuah visi yang cerdas untuk membuat kita belajar lebih banyak tentang kearifan leluhur kita.
Dah gitu aja deh, buat temen2 yang pengen nulis estafet tentang Indonesia dipersilahken, ga usah pake bata yah? mending dikasih ya gak gan??
Posting Komentar untuk "Indonesia: Lands of The Local Wisdom"