Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Menanti Fungsi Dewan Kehormatan Guru

Jaman sekolah dulu aku sempet keki sama guru fisikaku, gimana engga, titel SPd MPd tapi buat ngajar anak aja tetep ga beres, boro2 bikin anak dong, buat mengarahkan perhatian anak ke materi aja enggak. Apa iya karena terbiasa gaul dengan orang2 yang setingkat master makanya ga bisa lagi berkomunikasi sama anak2 yang masih terbilang bau kencur??

Waktu itu kejengkelanku kubawa sampe rumah, kebetulan bapak dan alm ibuku juga guru, sementara ibuku yang sekarang bukan pendidik. Pada akhirnya ibuku membuka sebuah wawasan baru mengenai apa dan siapa guru itu.

Dulu, menjadi guru tidak terlalu menarik, gaji kecil, hidup dipinggiran, bergantung dengan utang koperasi, belum menghadapi belasan anak orang sekaligus, yang bawel lah, yang cuek lah, yang bloon lah haiyah. Seandainya anak didiknya bolos, malah trek2an, nggentho, mabok, maka yang bakal dipaido pertama sudah pasti guru dan sekolahnya. Disamping itu guru dituntut sebagai seorang yang sempurna tidak hanya disekolah melainkan juga dalam lingkungannya, lihat saja, klo dirumah guru telanjang dada, ga wangon, guru hobby nongkrong jadi omongan, apalagi ketahuan misuh2 di pasar, langsung jatuh imagenya. belum jasa Guru di desa bahkan lebih sering dibutuhkan lingkungannya, entah sebagai pengacara nikahan, penyambut acara keluarga, tujuh belasan, mandor kerja bakti, ketua RT dan sebagainya.

Dengan segala keterbatasannya guru dituntut harus lebih dibanding tetangga tetangganya sementara wan prestasinya terbilang kecil, mungkin itu alasan mengapa anak kecil jarang yang bercita2 jadi guru, banyakan juga klo ga jadi insinyur, dokter ya pilot deh.

Ibuku bilang jadi klo gurumu ga pinter2 amat ya wajar, orang yang lebih pinter lebih milih jadi insinyur, yang lebih berada lebih milih jadi dokter, sementara yang jadi guru ya yang pas pasannya aja. Pinter ga, kaya juga ga, ya wis lah yang penting dapet kerja..

Klo sebelumnya aku respect ke guru lain hanya sekedar menganggap mereka kolega orang tuaku sejak itu aku mulai menaruh hormat pada profesi ini, menjadi guru adalah mengabdi. Dan aku akui memang tidak mudah mengkoordinir siswa untuk sekedar anteng apalagi bisa menangkap pelajaran.

Meskipun sekarang nasib guru (PNS) sudah lebih diperhatikan masih banyak tapi tentu saja masih banyak PR yang harus diselesaikan dunia pendidikan kita. Salah satunya adalah minimnya perlindungan terhadap profesi guru akhir2 ini.

Perlindungan profesi terhadap guru masih sangat emah. Beberapa guru terpaksa meringkuk di sel tahanan karena ketahuan mencubit anak didiknya sampe berdarah, yang lain dijebloskan karena ngeplak muridnya, ada guru yang diciduk waktu mengajar karena dilaporin wali murid. Bahkan seorang guru SMPku sempet dijebloskan di penjara karena njewer murid sampe berdarah. Terus terang aku menolak dengan keras kriminalisasi profesi guru yang kerap dilakukan orang tua murid.


Tidak mudah menjadi guru, ketika orang tua menghadapi 2 3 anak di rumah saja bisa kewalahan apalagi klo menghadapi 2 3 PULUH anak orang sekaligus, klo anaknya cuma anak SD ga terlalu masalah, klo anaknya anak STM, klo anaknya didepak dari sekolah lain, emang hobbyne nggentho, mabok, mbolos meh piye coba??? ga semudah berangkat lapor ke polsek pak, bu. Guru juga manusia, anda bisa marah kami juga, anda bisa ngeplak kami juga bisa. Tapi berusaha mengajar dan menanamkan budi pekerti ke puluhan anak sekaligus itu bukan hal yang mudah.

Kadang kekerasan dalam pendidikan itu perlu dan harus, dalam artian untuk pengendalian, sekaligus menanamkan rasa hormat dan kedisiplinan. Ketika guru memilih opsi keras terhadap anak pun prinsipnya sama seperti orang tua, bermaksud mendidik dan tidak keterlaluan, bagaimana juga guru adalah pengganti orang tua selama di sekolah. Klo ga mau digantikan ya monggo, dididik sendiri di rumah. Toh salah dalam menentukan tindakan pada anak juga bisa berbuntut ditantang gelut, Menang ra wangon kalah ngisin isini.

Memang idealnya kekerasan dalam pendidikan tidak seharusnya ada, pun demikian ada juga kasus guru sampe dihajar muridnya, nek gitu siapa yang harus bertanggung jawab? Aku ngerasa banyak orang tua murid yang lebay sekarang ini, dikit2 lapor polsek, bukan apa2, aku ngerasa beda perlakuan ketika ada kasus anak nonton bola/konser, kebetulan ricuh diamankan polisi trus kena penthung/tendang/bogem mentah satu dua oknum polishit kok aku jarang denger orang tua ngelaporin polisinya? Apa karena yang nendang polisi jadi hukumnya halal??

Apa aku mendukung tindak kekerasan oleh guru? antara ya dan tidak, ya karena memang ada saat dimana tindakan fisik dibutuhkan untuk mendisiplinkan anak, tidak karena aku sendiri sangat tidak hobby menerapkan hukuman fisik. Tapi aku setuju jika beberapa guru yang melecehkan siswanya harus mendapat sanksi yang keras, pertama karena sebagai orang tua tindakannya sangat tidak pantas, kedua mempermalukan profesi guru itu sendiri.

Aku cukup berlega hati ketika kompas memuat artikel untuk memaksimalkan kinerja dewan kehormatan guru (padahal sebelumnya aku malah sama sekali ga dong ada dewan ini) dimana jika ada indikasi guru melakukan pelanggaran kode etik, terlebih dulu akan diproses di dewan kehormatan. Jika terbukti bersalah dewan kehormatan akan merekomendasikan sanksi untuk guru yang bersangkutan. Buatku ini lebih baik daripada guru diciduk polisi selama mengajar.

Tidak perlu buang2 pulsa ngirim RegPendidikan tapi mari dukung pendidikan kita lebih baik kedepannya sesuai tugas masing masing.

Ing Ngarsa Sung Tuladha
Ing Madyo Mangun Karsa
Tut Wuri Handayani

-----------------------------------------------------------------
sumber gambar satu, dua dan tiga

*trek2an = balap liar

*nggentho = judi
*dipaido = dicemooh
*ngeplak = menampar
*wangon = pantas
*ngisin isini = memalukan

Posting Komentar untuk "Menanti Fungsi Dewan Kehormatan Guru"