Mencari Jatidiri Pendidikan
Minggu ini pemberitaan di berbagai media mengenai kelulusan dan ketidak lulusan SMA/K sekali lagi diwarnai histeria siswa yang lulus maupun yang tidak lulus. Yang lulus seperti biasa meneruskan tradisi warisan yang entah dimulai dari generasi tahun berapa sibuk mencorat coret baju dan melakukan konvoi di sepanjang jalan, sedangkan yang tidak lulus banyak yang menangis, menjerit, bahkan mengamuk dan menghancurkan sekolahnya. Ungkapan ekspresi yang begitu emosional, mungkin salah satu ekspresi paling emosional yang pernah sama2 kita rasakan dulu, perayaan kelulusan SMA.
Keputusan untuk merubah paradigma kelulusan tingkat menengah atas yang dimulai tahun 2003 ini sedikit banyak menimbulkan permasalahan di lingkungan praktis kependidikan, para guru dan kepala sekolah lebih sering harus memutar otak dan lebih menguatkan anak didik mereka untuk tetap optimis menghadapi ujian. Memang dengan adanya faktor resiko kegagalan yang mungkin didapat, baik siswa, guru maupun sekolah benar2 diuji dan ditelanjangi kualitasnya di hadapan publik. Sekolah2 non favorit mulai menunjukkan keseriusannya dengan menunjukkan kelulusan 100% dibanding sekolah2 elit dan favorit.
Namun sekali lagi kebijakan pelaksanaan UN ini sama sekali tidak mix n match dengan realitas pendidikan yang ada, tingkat kelulusan memang merupakan salah satu indikator keberhasilan sebuah lembaga pendidikan, tapi selalu saja nilai hitam diatas putih yang diperoleh dalam UN hanya berlaku untuk menjudge seorang siswa berhak meninggalkan sekolah dengan tegak atau tertunduk malu. Nilai UN praktis tidak diakui oleh hampir semua perguruan tinggi, masing2 perguruan lebih suka melakukan seleksi versi mereka sendiri untuk menyaring calon2 mahasiswanya. Penggunaan test masuk perguruan tinggi tetap harus dijalani lulusan SMA untuk memasuki jenjang pendidikan yang lebih tinggi. (Tidak jauh berbeda dengan dunia industri yang selalu melakukan 3-5 kali test untuk memastikan calon karyawannya benar2 memiliki kompetensi yang dibutuhkan, ini karena nilai2 yang dikeluarkan lembaga pendidikan formal tidak benar2 mencerminkan kemampuan seseorang.)
Dari kacamata universitas penggunaan test masuk selain untuk mendapatkan mahasiswa yang sesuai dengan kriteria mereka juga sebagai donatur2 awal untuk kelangsungan hidup universitas, calon mahasiswa akan membayar biaya test masuk universitas, jika lolos akan dihadapkan dengan rincian pembiayaan setoran awal, uang gedung dsb, jika tidak lolos??minimal cama sudah menambahkan anggaran universitas dari biaya mengikuti test. Dan ini artinya kelangsungan hidup universitas terjaga.
Jika kita menilik dari penggunaan kurikulum KBK di tahun 2004, KTSP pada 2006 penggunaan UN sebagai standarisasi penentuan kelulusan sama sekali tidak mengakomodir dua kurikulum ini. Basis Kompetensi yang dijadikan acuan kurikulum ini praktis tidak akan muncul dalam statistik angka2 yang ada dalam ijazah para siswa. Basis kompetensi yang ada hanya akan masuk dalam raport semester akhir yang tidak memiliki pengaruh sedikitpun terhadap kelulusan siswa.
SKKD (Standar Kompetensi dan Kompetensi Dasar) adalah kurikulum pengganti untuk KTSP dimana berisi kompetensi2 yang harus dikuasai para siswa selama mengikuti sebuah jenjang pendidikan, kelebihan dari SKKD adalah setiap sekolah dan guru memiliki kewenangan penuh untuk mengatur alokasi waktu pembelajaran tanpa pembatasan satuan kurikulum per semester. Sehingga sekolah yang mampu memenuhi standar kompetensi yang ada dalam waktu lebih singkat dapat memberikan pengayaan/materi2 tambahan untuk menambah pengetahuan siswanya. Sayangnya lagi2 karena faktor UN ini pada akhirnya kebanyakan SMK mempersingkat waktu pembelajaran produktif mereka untuk lebih memusatkan diri pada pengayaan pelajaran adaptif (MIPA, bahasa, dsb). Indikator skill yang seharusnya menjadi salah satu faktor penentu kelulusan di tingkat SMK pun akhirnya hanya menjadi nilai formalitas untuk meluluskan para siswa.
Apa yang dipelajari mahasiswa kependidikan mengenai teori2 metodologi pembelajaran, penelitian pendidikan, psikologi dan manajemen pembelajaran praktis hanya retorika saja, pembelajaran yang harus melibatkan aspek afektif, kognitif, psikomotorik ternyata divonis hanya menggunakan pendekatan kognitif saja. Faktor penunjang keberhasilan pendidikan tidak lagi berada pada kesatuan faktor pendidikan melainkan hanya diwakili oleh tingkat kelulusan siswa.
Tingkat kelulusan sebagai salah satu indikator utama keberhasilan suatu lembaga pendidikan hendaknya tidak menjadikan nilai saklek sebagai satu2nya cara negara untuk membuktikan pendidikan negeri ini telah berhasil, konyol karena semua materi pembelajaran yang disampaikan di lembaga pendidikan formal kita hampir tidak terpakai dalam dunia kerja. Dunia kerja lebih membutuhkan orang2 yang siap pakai yang memiliki kemampuan teori praktis, bukan teori dasar seperti yang kebanyakan diterapkan dalam dunia pendidikan, sebuah teori yang dipelajarkan harus bisa diimplementasikan dalam lingkungan keseharian bukan terbatas dalam penghafalan rumus, teori maupun konstanta semata. Pembelajaran konstekstual yang aperseptif, berbasis kompetensi, kecerdasan emosi dan lingkunganlah yang seharusnya ditekankan dan dijadikan sebagai solusi rendahnya kualitas pendidikan kita, bukan dengan jalan memaksakan sebuah nilai pasif sebagai acuan keberhasilan.
Sayangnya pembuat kebijakan pengadaan UN ini tidak menggubris protes dari pemberlakuan sistem ujian yang "tidak ada gunanya" ini. Tidak berguna di perguruan tinggi, dunia kerja maupun di lingkungan masyarakat. Sudahlah ndak perlu mendikotomikan SMK dan SMA hanya karena ada mata pelajaran produktif di SMK, ndak perlu ada mata pelajaran mulok, kesenian, olahraga, dsb. SMA/SMK cukup diajari 6 pelajaran saja selama 3 tahun, toh yang lain ga ada gunanya. njeh mboten Pak Menteri???
Posting Komentar untuk "Mencari Jatidiri Pendidikan"