Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

In Memoriam; My Last Hero

Pak tua itu membasuh keringatnya, matanya nanar pada pemandangan di depan matanya...Pun begitu bukan itu hal yang paling membuatnya gelisah. Tak jauh disampingnya seorang gadis menggendong anak kecil yang terus menangis. Hanya dia laki2 yang tersisa disana, laki2 yang lain sedang mencari nafkah masing2.

Rumah pasangan muda itu terbakar, hampir sebagian sisi kiri rumah itu sudah terlalap api.. Pak tua itu memberanikan diri menerobos masuk ke dalam rumah itu. Ia masuk ke dapur, langsung lari ke ruang tengah dan terus merangsek ke dalam kamar, disambarnya anak kedua pasangan muda yang masih terlelap itu, ia mengambil kain jarik untuk menutupi tubuh si bayi dari api. Beringsut2 ia keluar lewat dapur, kali ini tidak mudah, dapur itu sudah merah menyala, atapnya sudah tidak lagi mampu menahan kobaran api...

***********************************************

"Kamu yakin To? si Juni yang jual tanah ini ma kamu??"
"Nggeh mbah, ini sertifikat tanahnya..
Saya taunya memang mbah mau jual tanah ini jadi pas Juni nawarin saya langsung beli
Mbah kan tau saya juga cuma ngenger di tanah orang, jadi saya ga pikir panjang mbah"

Mbah Wir termangu sejenak, dibenaknya terlintas tingkah anak laki2nya, masa depan ia dan istrinya, namun ia pun kasihan pada Yanto, yang sehari-hari bekerja sebagai kuli becak di komplek pasar...

"Ya wis To, tapi mbah kasih waktu mbah juga ga tau mau pindah kemana, mbah udah ngga punya sodara lagi"
"Ia mbah, gapapa saya juga mau ngumpulin uang lagi buat mbedhol rumah,
Nggeh mpun mbah saya pamit"

Yanto segera pamit dari hadapan Mbah Wir dan Istrinya, masygul... entah apa yang merasuki Juni anak laki2 mbah Wir, ia tak lagi tinggal bersama kedua orang tuanya, dan sudah berkeluarga sendiri. Hidupnya pun sudah cukup untuk ukuran orang2 di desa. Mungkin harta memang bukan jaminan seseorang merasa cukup dan bahagia

Sore itu seorang guru datang bertandang ke rumah mbah Wir, singkat cerita guru muda tersebut mengutarakan keinginannya
"Mpun mbah, mbah ga usah kuatir rumah ini mau dipindah kemana...
Mbah kakung sama mbah putri pindah saja ke pekarangan saya"
"Tapi mas guru, pekarangan itu kan hasil kerjamu sama istrimu, buat bekal anak2mu nanti
Lagian mbah ga punya uang buat bayar sewa rumah"
"Mpun mbah gapapa, ga perlu dipikirin, mbah kakung sama mbah putri boleh tinggal disana sampai selesai, ga perlu mbah mikirin uang sewa, sekalian mbah bisa ngerawat pekarangan itu, besok kita kumpulkan orang buat bedhol rumah saja"

*****************************

WIRJADIMEDJA begitulah papan nama yang tertulis di depan rumah. Anak sepertiku tak pernah cukup paham perbedaan nama era bung Karno dengan EYD. Aku dan anak2 lain sering tertawa geli dengan nama tersebut sebelum tahu bagaimana melafalkannya dengan benar. Wiryodimejo, itulah sebenarnya nama terangnya, aku memanggilnya mbah Wir, meskipun tidak memiliki hubungan darah aku cukup mengenalnya. Orangnya kurus kering namun ceria, selalu membawa tembakau kemanapun ia pergi, istrinya sudah lama meninggal, kini ia hanya hidup sebatang kara, menghibur diri dengan kepulan2 asap rokok dan beberapa teman sejawat yang tersisa.

Badannya kadang dipaksakan untuk bekerja mencari uang, entah menjadi buruh2 angkut, atau kemanapun ada pekerjaan di kampungnya, usianya yang tua dan tenaganya yang tak seberapa membuat jarang orang mau mempergunakan jasanya. Akhirnya ia lebih sering menghabiskan diri memancing di saluran irigasi dekat sungai Citanduy. Aku sering bermain sejak kecil dengannya, bahkan sampai aku tinggal di rumah seorang diri karena keluargaku mulai eksodus satu persatu ke Jogja.

Kadang kami berbagi puntung rokok yang sama, ada kalanya ia membutuhkan keikhlasan beberapa rupiah dariku untuk makan sehari-hari. Kadang aku sengaja menyisihkan makanan untuk kubawa kerumahnya. Yah pertemanan beda usia, layaknya keakraban seorang kakek dan cucunya. Hari berganti sampai akhirnya tiba saatnya aku menjadi orang terakhir yang pindah ke Jogja menyusul semua anggota keluargaku.

*****************************************

WIRJADIMEDJA...aku memungut papan nama itu dari tanah, rumah mbah Wir kini sudah dirubuhkan, dijual perbagian oleh anak lelakinya. Bapakku melarangnya menjual rumah itu utuh diatas tanahku, yah bapak ga ingin si pembeli menganggap membeli rumah berikut tanah dibawahnya. Mbah Wir sendiri sudah meninggal beberapa bulan yang lalu, aku tak datang ke pemakamannya, ia dimakamkan jauh dari kampungku oleh kerabat jauhnya. Terakhir aku bawakan beberapa makanan untuknya. Ia hanya terbaring lemah ketika itu....yah seorang diri.

Yah.... disinilah aku berdiri, di atas tanah ini 20 tahun silam seorang pahlawan telah menyelamatkanku dari api yang membakar rumahku. Tempat yang sama jua mbah Wir memindahkan rumahnya diatas pondasi rumahku, disinilah pahlawan itu menghembuskan nafas terakhir setahun lalu. Terimakasih pak tua, karenamu Tuhan telah memberiku lebih banyak waktu di dunia ini.

Andre Rieu (Love Theme From Romeo and Juliet).mp3


dedicated to my hero;

Wirjadimedja
193x - 2008

Posting Komentar untuk "In Memoriam; My Last Hero"